BEKSI
Muasal silat
beksi berawal dari seni beladiri yang dibawa oleh Lie Ceng Oek, seorang
pendekar shaolin dari Negeri Tiongkok bagian utara. Beliau diakui
bersama sebagai guru besar yang pertama di Indonesia tepatnya di wilayah
Tangerang dan Jakarta yang daerahnya dihuni oleh komunitas masyarakat etnis Betawi.
Di Tanah Betawi,ilmu beladiri ini selain diturunkan ke anaknya Lie Tong
San, dan cucunya, Lie Gie Tong. Lie Ceng Oek juga menurunkan ilmunya
kepada muridnya yang bernama Ki Marhali.
Ki Marhali
menjadi murid Lie Ceng Oek berawal dari adanya perselisihan antara Lie
Ceng Oek dengan orangtua Ki Marhali, mereka berebut air untuk pengairan
sawah, perselisihan itu pun memicu perkelahian diantara keduanya,
merekapun saling berjanji siapapun yang kalah akan menimba ilmu beladiri
dari pihak yang menang.
Perkelahian
sengit pun terjadi dan kemenangan berada di tangan Lie Ceng Oek,
perjanjian di awal bukan tak mau ditepati namun karena kondisi orangtua
Ki Marhali sudah renta, dia tak bisa memenuhi janjinya. Sebagai penebus
dan pengganti janjinya Ki Marhali diminta oleh orangtuanya untuk belajar
beladiri kepada Lie Ceng Oek.
Selama enam
bulan pertama Ki Marhali bukannya diajarkan ilmu beladiri oleh Lie Ceng
Oek tetapi malah disuruh untuk mengambil air untuk mengairi area
pertanian , hal ini membuat orangtua geram hingga menanyakan perihal
tersebut, Lie Ceng Oek memberi pengertian bahwa dia bermaksud melatih
fisik Ki Marhali terlebih dahulu sebagai persiapan berlatih jurus.
Setelah persiapan fisik selesai, Ki Marhali pun diajarkan jurus, mulai
dari formasi dasar, jurus inti hingga jurus kembangan hingga selesai
seluruhnya.
Murid kedua
Lie Ceng Oek adalah H. Ghozali, seorang pemain rebana yang berasal dari
Petukangan. H. Ghozali merupakan seorang yang gemar mengembara, suatu
waktu dalam pengembaraanya sampailah ia di Dadap, Tangerang.
Di sana dia melihat Ki Marhali sedang berlatih beksi, H. Ghozali yang juga pendekar silat
terkenal dari salah satu aliran di betawi merasa tertantang mencoba
ketangguhan ilmu beladiri yang kental unsur pukulan ini. Tantangan H.
Ghozali pun bersambut, Ki Marhali pun siap meladeni keinginan H. Ghozali
yang secara sukarela akan belajar beladiri tersebut seandainya ia
kalah.
Mereka pun
beradu jurus dan ilmu, sang penantang pun menderita kekalahan. Akhirnya
H. Ghozali pulang ke kampungnya di Petukangan untuk meminta izin dan
biaya untuk menetap di Dadap guna mempelajari ilmu beladiri beksi, namun
karena orangtuanya tak memiliki uang ia pun terpaksa menjual kuda
kesayangannya demi dapat mempelajari beksi.
Di Dadap ia
menimba ilmu beladiri beksi kepada Ki Marhali, ia juga sempat diajarkan
langsung oleh Lie Ceng Oek. Setelah sekian lama berguru akhirnya ia
kembali ke Petukangan dengan niat mengajarkan beksi di daerahnya.
Murid ketiga
Lie Ceng Oek yang juga merupakan murid H. Ghozali adalah H. Hasbullah,
meski berasal dari Petukangan namun beliau tidak mengajarkan beladiri
beksi hanya di daerahnya saja tetapi hingga ke daerah Bekasi, Karawang,
Batu Jaya, Rengas Dengklok dan Cabang Bungin.
Setelah
cukup lama beliau mengembara, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali
ke daerah asalnya di daerah Petukangan pada tahun 1928 dan terus
mengembangkan ilmu seni beladiri beksi sampai akhir hayatnya.
Ketiga murid
Lie Ceng Oek inilah yang diyakini dan diakui sebagai pewaris ilmu
beladiri beksi yang diakui secara langsung oleh Lie Gie Tong (cucu dari
Lie Ceng Oek) karena ketiga orang inilah yang pernah dan langsung
belajar dari Lie Ceng Oek, mereka bertiga adalah guru besarbeksi karena
mempelajari, memiliki serta menyebarkan jurus sebagaimana aslinya yang
di dapat dari Lie Ceng Oek.
Gambar : H.Marhali (kiri) H. Hasbullah (kanan)